Mereka mencari langsung ke daerah-daerah di Indonesia yang masih menumbuhkan bidara secara alami, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Lombok. Para pencari tanaman ini menganggap bidara dari Indonesia lebih murni dan berkualitas karena tumbuh di lingkungan tropis yang mendukung. Selain digunakan dalam pengobatan herbal dan rukyah, daun bidara juga dipakai untuk keperluan ritual seperti memandikan jenazah.

Tidak sedikit petani lokal yang mulai membudidayakan pohon bidara untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat. Mereka menanamnya secara organik dan menjaga kualitas agar tetap memenuhi standar konsumen Timur Tengah. Selain bidara, warga Arab juga mencari tanaman lain yang memiliki nilai religius, seperti habbatussauda (jinten hitam), daun zaitun, dan siwak.

Fenomena ini mendorong interaksi ekonomi dan budaya antara Indonesia dan negara-negara Arab. Para pelaku usaha herbal di Indonesia memanfaatkan peluang ini dengan membuka jalur ekspor dan promosi produk ke komunitas Muslim internasional.

Dengan datang langsung ke sumbernya, warga Arab menunjukkan ketertarikan tinggi terhadap kekayaan hayati Indonesia yang terkait dengan nilai-nilai Islam. Mereka tidak hanya membeli tanaman, tetapi juga menjalin hubungan dengan petani dan komunitas lokal. Tren ini membuktikan bahwa ajaran Al-Qur’an terus memberi inspirasi nyata—hingga ke ladang-ladang hijau Nusantara.