beritamax.com – Mahmoud Khalil akhirnya bisa memeluk istri dan anaknya setelah lebih dari 100 hari mendekam di tahanan Imigrasi dan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE). Ia terbang dari pusat penahanan di Louisiana menuju New Jersey dan langsung disambut hangat di Bandara Newark.
Khalil adalah lulusan Columbia University dan dikenal sebagai salah satu wajah utama dalam aksi solidaritas Palestina yang berlangsung di kampusnya pada musim semi lalu. Saat ditangkap pada 8 Maret, istrinya, Dr. Noor Abdalla, sedang hamil delapan bulan. Putra mereka lahir saat Khalil masih dalam penahanan.
Bertemu Keluarga dan Lahirnya Semangat Baru
Di bandara Newark, Khalil langsung bertemu istrinya dan untuk pertama kalinya melihat bayi mereka yang baru lahir. Ia menyebut momen itu sebagai peristiwa yang sangat emosional. Meski sempat kehilangan banyak waktu, ia tetap bersyukur bisa berkumpul kembali.
Dr. Noor Abdalla, sang istri, mengaku tetap kuat sepanjang proses tersebut. Ia terus mendampingi proses hukum Khalil dari luar sambil menjalani kehamilan hingga persalinan. Kini mereka bisa mulai menyusun kembali kehidupan sebagai keluarga kecil.
Tegas: Perjuangan Palestina Akan Terus Dilanjutkan
Di hadapan wartawan, Khalil menegaskan bahwa penahanan tidak akan menghentikan suaranya. Ia bahkan berkata, “Jika mereka mengancam saya dengan penjara, bahkan kematian, saya tetap akan berbicara untuk Palestina.” Ucapan itu mencerminkan sikap keras dan tekadnya dalam memperjuangkan hak-hak Palestina.
Ia mengakui bahwa perjuangan di jalan kampus telah membawanya ke ruang tahanan, tetapi ia merasa langkah itu perlu untuk membawa perhatian dunia pada penderitaan rakyat Palestina. Menurutnya, aktivisme bukan pelanggaran, tetapi panggilan moral.
Kritik terhadap ICE dan Sistem Imigrasi AS
Penangkapan Khalil menimbulkan reaksi dari sejumlah kelompok hak asasi manusia. Banyak pihak menilai tindakan ICE berlebihan dan cenderung membungkam suara-suara yang kritis. Mereka menyuarakan bahwa warga dengan status hukum tetap pun berhak atas kebebasan berekspresi.
Khalil sendiri merupakan pemegang green card atau status penduduk tetap. Fakta ini menimbulkan pertanyaan soal bagaimana sistem imigrasi menangani aktivis, terutama mereka yang vokal terhadap isu-isu kemanusiaan dan politik global.
Aktivisme dan Masa Depan
Meski sudah dibebaskan, Khalil mengaku bahwa dirinya belum selesai. Ia menyebut perjuangan belum berakhir, dan masih banyak hal yang harus dilakukan, baik untuk Palestina maupun untuk imigran lain yang mengalami hal serupa.
Ia ingin terus terlibat dalam edukasi publik, aksi damai, dan advokasi. Ia juga berharap pengalamannya menjadi contoh nyata bahwa risiko aktivisme memang besar, tapi suara yang berani tetap penting dalam menjaga demokrasi dan keadilan.